Ternyata Ini  Penyebab Batalnya Indonesia Beli Jet Tempur Canggih F-20 Tigershark, Berikut Kisah Buruk Si Hiu Macan

JAKARTA (SURYA24.COM)- F-20 Tiger Shark adalah pesawat tempur yang dikembangkan oleh Northrop Corporation pada tahun 1980an. Dirancang sebagai pesawat tempur dengan biaya rendah, ringan, dan performa tinggi yang dapat diekspor ke negara-negara asing. F-20 ini merupakan peningkatan dari pesawat tempur F-5E Tiger II yang telah banyak diekspor ke berbagai negara di seluruh dunia.

Desain dan Fitur

F-20 Tiger Shark dirancang sebagai pesawat tempur dengan satu kursi dan dua mesin, dapat mencapai kecepatan maksimum Mach 2.0. Memiliki panjang 46 kaki, rentang sayap 27,8 kaki, dan berat lepas landas maksimum 28.000 pon. Pesawat ini ditenagai oleh dua mesin turbofan General Electric F404-GE-100, yang memberikan total dorongan sebesar 32.000 pon.

Salah satu fitur paling penting dari F-20 adalah sistem avionik canggihnya, yang mencakup sistem kendali penerbangan digital fly-by-wire, tampilan kepala atas (HUD), dan sistem radar yang canggih. Pesawat ini juga dilengkapi dengan sistem senjata yang terdiri dari meriam 20mm M61A1 Vulcan, serta kemampuan untuk membawa berbagai jenis rudal dan bom.

 

Sejarah dan Pengembangan

F-20 Tiger Shark dikembangkan pada akhir tahun 1970-an sebagai usaha swasta oleh Northrop Corporation. Perusahaan berharap dapat memanfaatkan kesuksesan pesawat tempur F-5E Tiger II yang telah diekspor ke lebih dari 20 negara. F-20 dirancang sebagai peningkatan dari F-5E, dengan avionik dan sistem senjata yang lebih canggih.

F-20 pertama kali terbang pada tahun 1982, dan Northrop mulai memasarkan pesawat ini ke negara-negara asing. Namun, F-20 tidak berhasil menarik banyak pembeli seperti yang diharapkan Northrop. Pemerintah Amerika Serikat tidak membeli pesawat F-20, dan satu-satunya negara yang membeli pesawat ini adalah Taiwan dan Korea Selatan.

Kegagalan komersial F-20 disebabkan oleh beberapa faktor. Pesawat ini lebih mahal daripada F-5E yang sudah beroperasi di banyak negara. Selain itu, banyak negara yang mencari pesawat tempur yang lebih canggih, seperti F-16 atau F/A-18, yang memiliki teknologi yang lebih maju dan kemampuan yang lebih besar.

Warisan

F-20 Tiger Shark adalah pesawat tempur yang canggih secara teknis dan maju pada masanya. Namun, pesawat ini tidak berhasil secara komersial dan tidak melihat adopsi yang luas. Program F-20 akhirnya dibatalkan pada tahun 1986, dan pesawat tidak pernah masuk ke dalam layanan Angkatan Udara Amerika Serikat.

Meskipun tidak berhasil secara komersial, F-20 memiliki dampak pada pengembangan pesawat tempur masa depan

Kisah di Balik Batalnya Indonesia Beli  F-20 Tigershark

Dikutip dari merdeka.com - Di awal tahun 1980an, TNI AU menggunakan jet tempur F-5 Tiger buatan pabrikan Northrop Corp dari Amerika Serikat. Si harimau ini menggantikan F-86 Sabre dari Australia yang sudah usang.

 

Northrop saat itu tengah mengembangkan jet tempur baru yang lebih canggih yakni F-20 Tigershark. Sepintas bentuknya tak berbeda jauh dengan F-5 Tiger yang sudah familiar bagi para pilot TNI AU.

F-20 mempunyai keunggulan, biaya operasional murah dan perawatan yang mudah. Pesawat ini bisa disiapkan untuk lepas landas dengan waktu yang sangat singkat untuk kemudian memburu lawannya.

Si Hiu Macan dinilai cocok digunakan untuk negara berkembang dengan budget pertahanan yang terbatas. Indonesia pun awalnya tertarik untuk membeli.

Saingan F-16

Namun apesnya, kemunculan F-20 berbarengan dengan F-16 produksi General Dynamics. Keduanya bersaing agar bisa digunakan oleh Angkatan Udara AS.

“Di Amerika Serikat, pabrik pesawat tempur akan berhasil bila Angkatan Udaranya memilih pesawat buatan pabrik tersebut. Bagaimana pun bagus kinerjanya, kalau tidak masuk USAF maka pabriknya akan gulung tikar,” tulis Marsekal Muda (Pur) Wisnu Djajengminardo dalam biografinya Kesaksian Kelana Angkasa yang diterbitkan Angkasa Bandung.

Setelah pensiun dari TNI AU, Wisnu bekerja di PT Sunda Karya yang merupakan perwakilan Northrop. Pihaknya berusaha menjual F-20 Tiger pada militer Indonesia.

Tahun 1984, prototipe F-20 sempat melakukan demonstrasi di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta. Para pejabat Departemen Pertahanan dan Keamanan (Hankam) yang melihat manuver jet tempur tersebut merasa puas dengan kemampuan si Hiu Macan.

Indonesia tertarik dengan F-20. Namun mereka menyatakan menunggu, siapa yang akan dipilih oleh USAF.

"Jika USAF memilih F-20, maka kami akan membelinya," ujar seorang pejabat militer saat itu.

 

Nasib Buruk F-20 Tigershark

Setelah menggelar demonstrasi di Jakarta, Northrop membawanya ke Korea Selatan. Negeri ginseng tersebut juga tertarik membelinya.

Namun nahas, Jet tempur tersebut mengalami kecelakaan di Korea Selatan. Penyebabnya diklaim bukan karena mesin pesawat, namun karena pilot yang kelelahan.

"Memang sebelum ke Indonesia, penerbangnya melakukan demonstrasi di beberapa negara Eropa dan Turki," kata Wisnu.

Tak lama setelah bencana itu, satu lagi prototipe pesawat F-20 jatuh di Kanada. Jet tempur tersebut sebelumnya baru saja tampil dalam Paris Airshow. Apakah kesalahan pilot atau mesin, tak disebutkan. Pupuslah harapan Northrop untuk dipilih AU AS.

"USAF akhirnya memilih F-16," kata Wisnu.

Berakhir sudah kisah si Hiu Macan. Pesawat ini tercatat hanya diproduksi tiga unit untuk prototipe. Pengembangannya disebut menghabiskan dana USD 1,2 miliar saat itu. Sayang, F-20 akhirnya gagal diproduksi massal.

Sementara lawannya, F-16 tercatat menjadi pesawat tempur paling laris di dunia. Rajawali Tempur ini diproduksi tak kurang dari 4.000 unit dan dipakai Angkatan Udara di 25 negara, di luar Amerika Serikat. Indonesia pun tercatat menjadi pengguna jet tempur F-16 hingga hari ini.***